Hai kembali lagi dengan segelintir problema Ibu Rumah Tangga yang masih newbie.
Sebelumnya saya kira bahasa via text itu sudah yang paling kompleks karena masing masing individu bebas mengintepretasikan dari segala hal yang mereka baca.
Ternyata kali ini saya sedang di berikan satu mata kuliah baru dari Sang Maha Besar, di minta untuk belajar Bahasa Rumah Tangga.
Ya, saya kira seharusnya tidak se rumit memahami bahasa bayi yang mungkin hanya terdengar menangis sedangkan faktanya tangisan tersebut bisa di terjemahkan ke beberapa arti seperti menangis karena lapar, menangis karena mengantuk dan lain sebagainya.
Bahasa Rumah Tangga pada umumnya sudah melibatkan sepasang suami istri yang secara verbal dan perbendaharaan kata sudah cukup memadai untuk menyampaikan informasi kepada lawan bicara, lantas di bagian mana rumitnya?
Sebenarnya tidak rumit hanya formula pemilihan kata dan intonasinya yang sulit di bentuk.
Contoh nyata di Rumah Tangga :
1. Istri : "Tolong letakkan ke tempatnya ya, sayang"
Suami : "Baik, nanti akan saya letakkan ke tempatnya"
Hasil : Barang tidak bergeming dari tempatnya.
2. Istri : "Heran! Kenapa sih ga bisa meletakkan barang di tempatnya!"
Suami : Sambil memindahkan barang ke tempatnya, "Memangnya ga bisa ya pakai bahasa yang lebih halus, seperti minta tolong"
Hasil : Barang kembali ke tempat yang seharusnya, tetapi masing masing merasa sakit hati.
3. Istri hanya mendiamkan sampai suami ber inisitaif memindahkan barang ke tempatnya. Yang ini jelas hanya lelucon, sudah di coba beratus ratus kali dengan hasil yang nihil. Kenapa Istri sering mencoba yang ini? Karena :A. Tidak menjadi kesal karena harus bermanis manis tetapi hasilnya nihil; B. Tidak perlu merasakan saling sakit hati.
Hasil : Pekerjaan Istri tidak pernah ada habisnya karena sekedar membuang tissue saja tidak di lakukan suami.
Bagaimana jika di kombinasikan dari Point 1 dengan Point Lainnya? Akan mendapatkan hasil yang sama dengan yang sudah di jabarkan. Lalu harus bagaimana? Dan menggunakan bahasa apa? Bagaimana jika harus mengiba? Ok, saya beri contoh bahasa mengiba.
Istri : "Badannya Sakit, Kepala pusing tapi harus membereskan rumah"
Suami : "Sudah istirahat saja, nanti saya yang kerjakan"
Hasil : Sudah ada kata kuncinya. "NANTI" silahkan di cocokkan dengan contoh kasus yang sudah saya sampaikan sebelumnya di mana kata kunci itu muncul. Kurang Lebih itulah hasilnya.
Pasti ada lagi yang berpendapat, Bagaimana jika coba di ajak kerja sama, seperti merapihkan rumah sama sama, mungkin bisa sekaligus mempererat tali kasih. Sejauh ini memang cara ini sudah paling ampuh walau Suami selalu banyak selingan di mulai dari harus mendengarkan lagu, di mulai dengan proses memilih lagu, dan kadang di tengah pekerjaan jika lagu kurang di sukai maka Suami akan kembali menghabiskan waktu memilih lagu, terkadang pun di selingi dengan bermain handphone sambil rebahan, ngadem dan akhirnya ngantuk.
Tapi Point yang mau saya sampaikan bukan itu, saya hanya bertanya tanya, ini mengenai kehamilan dan kelahiran dan kebutuhan memiliki partner yang memadai, saat ini sudah jalan 7 bulan kehamilan, untungnya sesuai berbagai macam artikel dan hasil konsultasi dengan spog, melakukan pekerjaan rumah tangga adalah olahraga yang baik untuk Ibu hamil trimester akhir, hanya saja saya merasakan kinerja tidak semaksimal saat tidak hamil apalagi setelah kejadian kehilangan keseimbangan yang akhirnya membuat kaki keseleo, berkurang lagi kegesitan saya dan semua pekerjaan terus menumpuk tanpa bantuan dari Partner.
Kekhawatiran selanjutnya adalah saat kelahiran, pemulihan dan beberapa bulan awal yang akan membutuhkan perhatian extra hanya untuk si jabang bayi. Siapa yang akan membereskan rumah? Membayangkannya saja sudah ingin membuat saya menangis. Apakah terdengar berlebihan? Untuk para wanita yang well manage dan mempunyai kebiasaan meletakkan segala sesuatu harus pada tempatnya pasti paham dengan ketakutan saya ini. Orang orang dengan kebiasaan seperti ini jelas bukan karena tanpa alasan. Sudah terbukti orang orang yang well manage tidak pernah kesulitan untuk menemukan barang dan menghemat waktu dan tenaga untuk membereskan rumah. Orang orang seperti ini hanya perlu membersihkan saja tanpa perlu terus menerus merapihkan barang barang. Ini hanya untuk men - simplify hidup kita. Jika kondisi hamil saja sudah cukup membuat saya kelelahan (terutama lelah hati) untuk terus melakukan hal yang sama, membereskan barang yang sama apalagi nanti jika si bayi sudah lahir?
Untuk usia pernikahan yang masih belum genap setahun mungkin memang masih banyak yang harus di pelajari, tetapi kebanyakan hasil sharing dengan para Ibu Rumah Tangga yang lebih expert di bidang komunikasi dengan suaminya, rata rata hanya mendapat satu konklusi "Ya Mau Gimana Lagi, Diemin Aja, Banyak banyak sabar"
Hell no, saya tidak mau berakhir seperti itu, Rumah Tangga itu harus di jalankan oleh dua orang, dengan kesepakatan, konsekuensi, dan konsistensi. Suami pasti setuju dengan pemikiran ini, tapi implementasinya masih di pertanyakan. Bagaimana mau punya kelurga kece kalau hanya seperti ini?
NATO atau No Action Talk Only.
-Yudith P. Munarno, 27 Tahun-
Sebelumnya saya kira bahasa via text itu sudah yang paling kompleks karena masing masing individu bebas mengintepretasikan dari segala hal yang mereka baca.
Ternyata kali ini saya sedang di berikan satu mata kuliah baru dari Sang Maha Besar, di minta untuk belajar Bahasa Rumah Tangga.
Ya, saya kira seharusnya tidak se rumit memahami bahasa bayi yang mungkin hanya terdengar menangis sedangkan faktanya tangisan tersebut bisa di terjemahkan ke beberapa arti seperti menangis karena lapar, menangis karena mengantuk dan lain sebagainya.
Bahasa Rumah Tangga pada umumnya sudah melibatkan sepasang suami istri yang secara verbal dan perbendaharaan kata sudah cukup memadai untuk menyampaikan informasi kepada lawan bicara, lantas di bagian mana rumitnya?
Sebenarnya tidak rumit hanya formula pemilihan kata dan intonasinya yang sulit di bentuk.
Contoh nyata di Rumah Tangga :
1. Istri : "Tolong letakkan ke tempatnya ya, sayang"
Suami : "Baik, nanti akan saya letakkan ke tempatnya"
Hasil : Barang tidak bergeming dari tempatnya.
2. Istri : "Heran! Kenapa sih ga bisa meletakkan barang di tempatnya!"
Suami : Sambil memindahkan barang ke tempatnya, "Memangnya ga bisa ya pakai bahasa yang lebih halus, seperti minta tolong"
Hasil : Barang kembali ke tempat yang seharusnya, tetapi masing masing merasa sakit hati.
3. Istri hanya mendiamkan sampai suami ber inisitaif memindahkan barang ke tempatnya. Yang ini jelas hanya lelucon, sudah di coba beratus ratus kali dengan hasil yang nihil. Kenapa Istri sering mencoba yang ini? Karena :A. Tidak menjadi kesal karena harus bermanis manis tetapi hasilnya nihil; B. Tidak perlu merasakan saling sakit hati.
Hasil : Pekerjaan Istri tidak pernah ada habisnya karena sekedar membuang tissue saja tidak di lakukan suami.
Bagaimana jika di kombinasikan dari Point 1 dengan Point Lainnya? Akan mendapatkan hasil yang sama dengan yang sudah di jabarkan. Lalu harus bagaimana? Dan menggunakan bahasa apa? Bagaimana jika harus mengiba? Ok, saya beri contoh bahasa mengiba.
Istri : "Badannya Sakit, Kepala pusing tapi harus membereskan rumah"
Suami : "Sudah istirahat saja, nanti saya yang kerjakan"
Hasil : Sudah ada kata kuncinya. "NANTI" silahkan di cocokkan dengan contoh kasus yang sudah saya sampaikan sebelumnya di mana kata kunci itu muncul. Kurang Lebih itulah hasilnya.
Pasti ada lagi yang berpendapat, Bagaimana jika coba di ajak kerja sama, seperti merapihkan rumah sama sama, mungkin bisa sekaligus mempererat tali kasih. Sejauh ini memang cara ini sudah paling ampuh walau Suami selalu banyak selingan di mulai dari harus mendengarkan lagu, di mulai dengan proses memilih lagu, dan kadang di tengah pekerjaan jika lagu kurang di sukai maka Suami akan kembali menghabiskan waktu memilih lagu, terkadang pun di selingi dengan bermain handphone sambil rebahan, ngadem dan akhirnya ngantuk.
Tapi Point yang mau saya sampaikan bukan itu, saya hanya bertanya tanya, ini mengenai kehamilan dan kelahiran dan kebutuhan memiliki partner yang memadai, saat ini sudah jalan 7 bulan kehamilan, untungnya sesuai berbagai macam artikel dan hasil konsultasi dengan spog, melakukan pekerjaan rumah tangga adalah olahraga yang baik untuk Ibu hamil trimester akhir, hanya saja saya merasakan kinerja tidak semaksimal saat tidak hamil apalagi setelah kejadian kehilangan keseimbangan yang akhirnya membuat kaki keseleo, berkurang lagi kegesitan saya dan semua pekerjaan terus menumpuk tanpa bantuan dari Partner.
Kekhawatiran selanjutnya adalah saat kelahiran, pemulihan dan beberapa bulan awal yang akan membutuhkan perhatian extra hanya untuk si jabang bayi. Siapa yang akan membereskan rumah? Membayangkannya saja sudah ingin membuat saya menangis. Apakah terdengar berlebihan? Untuk para wanita yang well manage dan mempunyai kebiasaan meletakkan segala sesuatu harus pada tempatnya pasti paham dengan ketakutan saya ini. Orang orang dengan kebiasaan seperti ini jelas bukan karena tanpa alasan. Sudah terbukti orang orang yang well manage tidak pernah kesulitan untuk menemukan barang dan menghemat waktu dan tenaga untuk membereskan rumah. Orang orang seperti ini hanya perlu membersihkan saja tanpa perlu terus menerus merapihkan barang barang. Ini hanya untuk men - simplify hidup kita. Jika kondisi hamil saja sudah cukup membuat saya kelelahan (terutama lelah hati) untuk terus melakukan hal yang sama, membereskan barang yang sama apalagi nanti jika si bayi sudah lahir?
Untuk usia pernikahan yang masih belum genap setahun mungkin memang masih banyak yang harus di pelajari, tetapi kebanyakan hasil sharing dengan para Ibu Rumah Tangga yang lebih expert di bidang komunikasi dengan suaminya, rata rata hanya mendapat satu konklusi "Ya Mau Gimana Lagi, Diemin Aja, Banyak banyak sabar"
Hell no, saya tidak mau berakhir seperti itu, Rumah Tangga itu harus di jalankan oleh dua orang, dengan kesepakatan, konsekuensi, dan konsistensi. Suami pasti setuju dengan pemikiran ini, tapi implementasinya masih di pertanyakan. Bagaimana mau punya kelurga kece kalau hanya seperti ini?
NATO atau No Action Talk Only.
-Yudith P. Munarno, 27 Tahun-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar